MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS)




Kondisi daerah yang berbagai masalah-masalah karena luasnya Negara Indonesia mendorong pemerintah untuk lebih memperhatikan potensi daerah dan kendalanya dalam perencanaan. Standarisasi dan penyaragaman rencana yang terlalu terpusat dirasakan menghambat pelaksanaan pembangunan karena cenderung akan berakibat pada ketidaksesuaian antara rencana pusat dan kebutuhan daerah masing-masing.
Sejalan dengan kebijakan otonomi dan desentralisasi yang ditempuh oleh pemerintah, tanggung jawab pemerintah daerah akan meningkat, termasuk dalam manajemen pendidikan. Pemerintah daerah diharapkan untuk senantiasa meningkatkan kemampuannya dalam berbagai tahap pembangunan pendidikan, sejak tahap perumusan kebijakan daerah, perencanaan, pelaksanaan, sampai pemantauan atau monitoring di daerah masing-masing sejalan dalam kebijakan pendidikan nasional yang direncanakkan pemerintah.
Dalam kerangka inilah manajemen berbasis sekolah (MBS) tampil sebagai paradigma baru pengembangan pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan sekolah dan kebutuhan daerah masing-masing. MBS merupakan kebijakan yang sangat strategis dalam rangka pengembangan kemampuan sekolah dan daerah bottom up planning policy, yaitu kebijaksanaan pendidikan yang diprakarsai oleh setiap sekolah dan daerah, khususnya mengenai masalah-masalah yang dihadapi oleh sekolah dan daerah yang bersangkutan serta ditindaklanjuti oleh setiap tingkatan manajemen diatasnya sampai tingkat pusat.

PENGERTIAN
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada bagian penjelasan pasal 51 ayat 1, “manajemen berbasis sekolah atau madrasah adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepala sekolah atau madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah atau madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan”. Definisi MBS diuraikan lebih rinci sebagai suatu pendekatan politik yang bertujuan untuk melakukan redesain terhadap pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan pada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa, kepala sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat (Fattah, 2004). MBS atau school based management sendiri merupakan sebuah upaya adaptasi dari paradigma pendidikan baru yang berasaskan desentralisasi. MBS memberikan otoritas pada sekolah untuk mengembangkan prakarsa yang positif untuk kepentingan sekolah.
Dalam pelaksanaannya di lapangan, konsep MBS memiliki instrumen kunci yang dikenal dengan nama Komite Sekolah. Tidak hanya itu, menurut Dr JC Tukiman Taruna, seorang pakar pendidikan, implementasi MBS secara ideal mensyaratkan beberapa hal yaitu
(1) peningkatan kualitas manajemen sekolah yang terlihat melalui transparansi keuangan, perencanaan partisipatif, dan tanggung-gugat (akuntabilitas),
(2) peningkatan pembelajaran melalui PAKEM (pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan), dan
(3) peningkatan peran serta masyarakat melalui intensitas kepedulian masyarakat terhadap sekolah (Kusmanto, 2004).

DASAR HUKUM
Implementasi MBS pada tingkat satuan pendidikan bukan sekedar luapan semangat desentralisasi yang berlebihan. MBS dilaksanakan semata karena berlandaskan UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 51 ayat 1, “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah atau madrasah”. Legalisasi pelaksanaan MBS juga termuat dalam peraturan turunan undang-undang sistem pendidikan nasional, yaitu dalam PP No. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan pasal 49 ayat 1, “Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas”. Keberadaan Komite Sekolah sebagai instrumen kunci dalam pelaksanaan MBS juga tertuang dalam PP No. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan pasal 49 ayat 2, “Pengambilan keputusan pada satuan pendidikan dasar dan menengah di bidang non-akademik dilakukan oleh komite sekolah atau madrasah yang dihadiri oleh kepala satuan pendidikan”. Sementara Lampiran Permendiknas No. 19 Tahun 2007 tentang standar pengelolaan pendidikan memuat secara lebih terperinci tentang (a) perencanaan program, (b) pelaksanaan rencana kerja, (c) pengawasan dan evaluasi, (d) kepemimpinan sekolah atau madrasah, (e) sistem informasi manajemen, dan (f) penilaian khusus.


TUJUAN IMPLEMENTASI MBS
Tujuan implementasi program MBS adalah jelas untuk mencapai peningkatan mutu dalam penyelenggaraan pendidikan, sejalan dengan apa yang tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003, pendidikan diselenggarakan dengan prinsip pemberdayaan seluruh komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Diharapkan dengan menerapkan manajemen dengan pola MBS, sekolah lebih berdaya dalam beberapa hal sebagaimana berikut: (1) menyadari kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi sekolah tersebut, (2) mengetahui sumberdaya yang dimiliki dan input pendidikan yang akan dikembangkan, (3) mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk kemajuan lembaganya, (4) bertanggung jawab terhadap orang tua, masyarakat, lembaga terkait, dan pemerintah dalam penyelenggaraan sekolah, (5) dan persaingan sehat dengan sekolah lain dalam usaha-usaha kreatif inovatif untuk meningkatkan layanan dan mutu pendidikan. Secara ringkas, yang paling utama dari penerapan MBS adalah tercapainya peningkatan mutu pendidikan dengan cara memberdayakan seluruh potensi sekolah dan stakeholdernya sesuai dengan kebijakan pemerintah dengan mengaplikasikan kaidah-kaidah manajemen sekolah profesional (Satori, 2006).

KARAKTERISTIK KONSEP MBS
Karakteristik konsep MBS berikut ini sebagaimana berikut:
(1) Upaya meningkatkan peran serta Komite Sekolah, masyarakat, DUDI (dunia usaha dan dunia industri) untuk mendukung kinerja sekolah;
(2) Program sekolah disusun dan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan proses belajar mengajar (kurikulum), bukan kepentingan administratif saja;
(3) Menerapkan prinsip efektivitas dan efisiensi dalam penggunaan sumber daya sekolah (anggaran, personil dan fasilitas);
(4) Mampu mengambil keputusan yang sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, dan kondisi lingkungan sekolah walau berbeda dari pola umum atau kebiasaan;
(5) Menjamin terpeliharanya sekolah yang bertanggung jawab kepada masyarakat;
(6) Meningkatkan profesionalisme personil sekolah;
(7) Meningkatnya kemandirian sekolah di segala bidang;
(8) Adanya keterlibatan semua unsur terkait dalam perencanaan program sekolah (misal: KS, guru, Komite Sekolah, tokoh masyarakat,dll);
(9) Adanya keterbukaan dalam pengelolaan anggaran pendidikan sekolah;
MANAJEMEN SEKOLAH
            Istilah manajemen itu memiliki banyak arti, bergantung pada orang yang mengartikannya, manajemen sekolah seringkali disandingkan dengan administrasi sekolah. Berkaitan dengan itu, terdapat tiga pandangan berbeda:
a.       Mengartikan administrasi lebih luas dari pada manajemen (manajemen merupakan inti dari manajemen).
b.      Melihat manajemen lebih luas dari pada administrasi
c.       Pandangan yang menganggap bahwa manajemen identik dengan administrasi.

Dalam tulisan ini kata manajemen diartikan sama dengan kata administrasi atau pengelolaan, meskipun kedua istilah tersebut sering diartikan berbeda. Dalam berbagai kepentingan, pemakaian kedua istilah sering digunakan secara bergantian, demikian halnya dalam berbagai literatur. Berdasarkan fungsi pokoknya istilah manajemen dan administrasi mempunyai funsi yang sama. Karena itu, perbedaan kedua istilah tersebut tidak konsisten dan tidak signifikan.
Manajemen sekolah pendidikan mengandung arti Gaffar (1989), sebagai suatu proses kerja sama yang sisitematik, sistemik dan komperenhenship dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pendidikan juga dapat diartikan sebagai seagala yang berkenan dengan pengelolaan proses tujuan jangka pendek, menengah, maupun tujuan jangka panjang.

TUJUAN MBS
Manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi, yang dinyatakan dalam GBHN. Hal tersebut diharapkan dapat dijadikan landasan dalam pengembangan pendidikan di Indonesia yang berkualitas dan berkelanjutan, baik secara makro, meso dan mikro.
MBS yang ditandai dengan otonomi daerah sekolah dan perlibatan masyarakat merupakan respons pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul dimasyarakat, bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi, antara lain, diperoleh melalui keleluasaan mengola sumberdaya partisipasi masyarakat dan penyerdahanaan birokrasi. Sementara peningkatan mutu dapat diperoleh, antara lain, melalui partisipasi orang tua terhadap sekolah, fleksibiltas pengelolaan sekolah dan kelas, peningkatan profesionalisme guru dan kepala sekolah, berlakunya sistem intensif serta disintensif. Peningkatan pemerataan antara lain diperoleh melalui peningkatan partisipasi masyrakat yang memungkinkan pemerintah lebih berkonsentrasi pada kelompok tertentu. Hal ini di mungkinkan karena pada sebagian masyarakat tumbuh rasa kepemilikannya yang tinggi terhadap sekolah.

MANFAAT MBS
            MBS memberi kebebasan dan kekuasaan yang besar pada sekolah, disertai perangkat tanggung jawab. Dengan adanya otonomi daerah yang memberikan tanggung jawab pengelolaan sumber daya dan pengembangan strategi MBS sesuai dengan kondisi setempat, sekolah dapat lebih meningkatkan kesejahteraan guru sehingga dapat berkosentrasi pada tugas. Keleluasaan dalam mengelola sumber daya dan dalam menyertakan masyarakat untuk berpartisipasi, mendorong profesionalisme kepala sekolah dalam peranannya sebagai manajer maupun pemimpin sekolah. 

Categories:

1 komentar:

kang ijin blog walking
diantos di http://www.blog-pembelajaran.co.cc

Posting Komentar

Look @ Me

Total Tayangan Halaman

Radio

Chat