Perlukah Propinsi Cirebon Dibentuk?



Ide dibentuknya propinsi Cirebon ini kembali menghangat semenjak ditolaknya H. Irianto M.S. Syafiuddin (Yance) yang merupakan Bupati Indramayu saat ini untuk menjadi calon wakil gubernur Jawa Barat dari partai Golkar. Memang pada masa – masa sebelum ini keinginan untuk memisahkan diri dari propinsi Jawa Barat itu telah ada meskipun hanya dari pihak – pihak tertentu saja. Akan tetapi momen ditolaknya Yance tersebut sebagai calon wakil gubernur Jabar seolah – olah telah memberikan hembusan angin pada bara api bakal propinsi Cirebon itu.
Meski tidak mengakui keinginan pembentukan propinsi Cirebon itu disebabkan oleh tidak terpilihnya Yance sebagai cagub, akan tetapi nuansa sebab – akibatnya sangat terasa. Pertanyaannya sekarang adalah apakah memang benar perlu dibentuknya propinsi Cirebon dan bagaimana pandangan Islam dalam mengatur wilayah kepropinsiannya?


Alasan perlunya Cirebon berpisah
Paling tidak tuntutan terbentuknya propinsi Cirebon ini menurut para pengusungnya berdasarkan pada dua alasan utama. Pertama, kultur dan kebudayaan, kedua terabaikannya (termaginalkannya) hak-hak Wong Cirebon (Pantura) oleh pemerintahan Provinsi Jawa Barat, selain agar pelayanan lebih mudah, cepat, akurat, efektif, dan efisien.
Dari sekian banyaknya perbedaan kultur dan budaya itu yang paling mencolok adalah penggunaan bahasa ibu. Masyarakat Cirebon berbahasa ibu Jawa Cirebon dan masyarakat pantura lainnya berbahasa ibu campuran antara Jawa Cirebon, Bahasa Sunda, dan Betawi. Sedangkan masyarakat Priangan berbahasa Sunda. Namun tidak hanya disitu, perbedaan itu seolah hendak dihilangkan dengan memaksakan bahasa sunda di sekolah – sekolah yang berada di wilayah Cirebon dan sekitarnya.

Pada aspek kesejahteraan dan pembangunan, masyarakat Cirebon dinilai tidak banyak mendapatkan perhatian. Pembagian pendapatan daerah yang tidak adil adalah hal yang paling menonjol dalam masalah ini. Misalnya saja, dari sektor pajak (PKB, BBNKB, PBBKB, ABT, APER, kemetrologian, hasil hutan, dan bagi hasil Migas) uang yang disetor ke provinsi nilainya mencapai kurang lebih Rp 500 miliar. Namun yang kembali ke daerah masing-masing hanya 30% saja. Hal ini tentu lebih menguntungkan pemerintah provinsi dibandingkan dengan pemerintah daerah menurut orang – orang yang mengusulkan pembentukan propinsi baru itu. Lalu bagaimana sebenarnya pandangan Islam dalam menyikapi permintaan pembentukan propinsi baru tersebut?
Pembentukan propinsi baru dari sudut pandang Islam
Secara umum alasan – alasan yang dikemukakan di atas dibagi dalam dua tema besar yaitu isu kesukuan dan isu keadilan ekonomi. Islam sebagai agama sekaligus ideologi memiliki pandangan yang khas mengenai hal ini. Mengenai isu pertama yaitu kesukuan Rasulullah saw bersabda :
ليس منا من دعا إلى عصبية ، وليس منا من قاتل على عصبية ، وليس منا من مات على عصبية.
“Laisa minnaa man da’aa ilaa ‘ashobiyyatin, walaisa minnaa man qootala ‘alaa ‘ashobiyyatin.walaisa minnaa man maata ‘alaa ‘ashobiyyatin.”
Bukan termasuk golongan kami, siapa saja yang mengajak kepada ashobiyah (fanatik golongan, suku, bangsa, kelompok dsb, pokoknya selain fanatik Islam). Dan bukan termasuk golongan kami, siapa saja yang berperang atas dasar ashobiyah. Dan tidak termasuk golongan kami pula, siapa saja yang mati atas dasar ashobiyah.” (HR Abu Dawud dari Jubair bin Math’am, berderajat hasan, dalam Faidhul Qadir no. 7684).
Hadist tersebut secara gamblang menjelaskan bahwa isu kesukuan dalam kehidupan masyarakat bukanlah isu yang layak untuk diperbincangkan. Apalagi isu tersebut dijadikan sebagai isu politik, tentu hal itu tidak lain adalah upaya untuk memecah belah masyarakat. Sehingga dari dalil hadist ini saja isu kesukuan yang dijadikan pijakan ataupun alasan untuk pembentukan propinsi baru bukan merupakan hal yang dibenarkan. Hal ini tidak berlaku hanya untuk orang – orang yang meminta dibentuknya propinsi Cirebon, tetapi juga berlaku bagi siapapun juga termasuk para politisi.
Mengenai isu yang kedua yaitu isu keadilan ekonomi, maka sesungguhnya hal itu hanyalah terkait dengan keadilan para gubernur dan juga sistem yang diterapkan itu sendiri. Dalam Islam istilah penguasa propinsi itu dikenal dengan istilah wali yaitu orang yang diangkat oleh khalifah sebagai penguasa (pejabat pemerintah) untuk suatu wilayah (propinsi) serta menjadi amir (pemimpin) wilayah itu. Dalilnya adalah ketika Rasul saw mengangkat Muadz bin Jabal menjadi wali di wilayah Janad, Ziyad bin Walid di wilayah Hadramaut, dan Abu Musa al’Asyari di wilayah Zabid dan Adn.
Mengenai pemberhentian wali, seorang wali dapat diberhentikan saat itu juga jika khalifah memandang perlu untuk memberhentikannya. Wali juga dapat diberhentikan jika penduduk wilayah itu atau mereka yang menjadi wakil penduduk wilayah tersebut menampakkan ketidakridhaan dan ketidaksukaan mereka terhadap walinya. Dalilnya adalah Rasul saw pernah memberhentikan ‘Ila’ bin al-Hadrami yang menjadi amil beliau di Bahrain karena utusan Abd Qays mengadukannya.
Sehingga apabila suatu masyarakat di suatu daerah merasakan ketidakadilan, yang harus dilakukan pertama kali adalah mengadukannya dan meminta wali tersebut diganti. Sehingga tentu tidak tepat bila justru langsung menyerukan pembentukan wilayah baru saat ketidakadilan terjadi. Karena pada asalnya, yang bermasalah adalah penguasanya bukan pembagian wilayahnya.
Itu dilihat dari sisi pemimpinnya. Dilihat dari sisi sistem yang diterapkan, sesungguhnya saat ini Indonesia sedang berada dalam posisi sebagai negara terjajah. Negara yang terjajah oleh sistem kapitalisme sekuler yang memang menghendaki tidak meratanya pembangunan. Sebagai bukti adalah dahulu ketika Indonesia masih dijajah oleh Belanda, pusat ibu kota ditempatkan di Jayakarta. Jayakarta itulah yang menjadi pusat aktivitas pengumpulan hasil – hasil jajahan dari seluruh daerah di Indonesia. Sekarang pun kondisi tersebut masih tetap berlaku. Jakarta masih tetap sebagai ibu kota pusat aktivitas negara dilakukan dan juga tempat hasil jajahan itu dikumpulkan. Sehingga tidaklah mengherankan bila perputaran uang itu sebagian besar justru terjadi hanya di Jakarta dan sekitarnya saja.
Kondisi demikian memang pasti akan terjadi selama kita masih terjajah. Tentu saja terjajah oleh sistem ekonomi kapitalis. Untuk menyelesaikan problem tidak meratanya pembangunan ini, Islam memiliki solusi tersendiri yang berbeda dengan sistem kapitalis saat ini. Paling tidak ada tiga hal yang merupakan konsep ekonomi Islam dalam mengatasi tidak meratanya pembangunan.
Pertama, negara wajib memenuhi kebutuhan dasar (hajat asasiyah), yakni pangan, sandang, dan papan bagi seluruh individu rakyat.
Nabi saw. bersabda, “Penduduk mana saja yang membiarkan salah seorang warganya kelaparan, Allah akan melepas jaminannya kepada mereka semua.”
Dalam hadis lain, beliau bersabda, “Tidaklah beriman kepadaku orang yang tidur nyenyak pada malam hari sementara tetangganya kelaparan, padahal dia tahu.”
Kedua, negara harus memberi peluang seluas-luasnya bagi seluruh warga negara—tanpa membedakan satu dengan yang lain—untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan penyempurna hidup (hajat kamaliyah). Jika terjadi ketidakseimbangan ekonomi antara warga negara karena kemampuan yang berbeda-beda, negara wajib melakukan penyeimbangan dengan memberikan bantuan cuma-cuma kepada kelompok masyarakat yang lemah dan papa (fakir miskin) agar mampu bangkit dan mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Allah SWT berfirman:
Agar jangan harta itu hanya berputar di kalangan orang kaya di antara kalian(QS al-Hasyr: 7).
Ketiga, jaminan kesejahteraan umum, pendidikan, kesehatan, dan keamanan gratis. Dalam hal ini kebutuhan – kebutuhan umum masyarakat tersebut harus dipenuhi oleh negara baik itu mereka berada di Ibu Kota negara ataupun berada di desa terpencil.
 Islam tidak melihat pembagian pendapatan itu berdasarkan fungsi wilayahnya apakah dia itu wilayah ibu kota ataukah bukan. Apakah perdagangan itu terjadi di sana ataukah tidak. Apakah ekspor dan impor itu terjadi melalui wilayah itu ataukah tidak sehingga cukai yang diterima sebagai pendapatan daerahnya lebih besar.
Dengan kata lain, perekonomian Islam bersandar pada pemenuhan individu per individu. Negara akan melihat per individu apakah kebutuhan pokok mereka telah terpenuhi ataukah belum. Sehingga seharusnya problem tidak adilnya pembagian pendapatan daerah itu tidak terjadi. Karena pembagian pendapatan dan pembelanjaannya didasarkan pada asas kebutuhan. Jadi pemberian anggaran akan didasarkan pada kebutuhan masing – masing daerah dalam memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya seperti jaminan terpenuhinya sandang, papan, pangan, pendidikan, kesehatan dan lain – lain.
Dengan demikian pembentukan propinsi baru baik itu Cirebon ataupun yang lainnya pada dasarnya merupakan hal yang mubah dalam Islam (boleh). Tentu saja pembentukan propinsi baru itu didasarkan pada kemudahan – kemudahan dan keefektifan pengaturan urusan rakyat. Yang tidak boleh adalah menjadikan isu kesukuan sebagai alasan terbentuknya sebuah propinsi. Terbentuknya sebuah propinsi harus didasarkan semata – mata pada kebutuhan akan hal itu bukan karena tidak terpilih pada pemilihan gubernur dan sebagainya. Di samping itu, sistem yang ada sekarang ini memang masih merupakan sistem peninggalan kolonial Belanda yang hanya akan memakmurkan satu daerah dan memiskinkan daerah lainnya. Kasus Freeport dengan kondisi papua adalah contoh nyatanya. Sehingga sudah seharusnya semua pihak mencoba menjadikan sistem Islam sebagai solusi alternatif bagi masalah ini. Wallahu a’lam bishshowwab.











http://wisnusudibjo.wordpress.com/2008/01/28/perlukah-propinsi-cirebon-dibentuk/

Categories:

0 komentar:

Posting Komentar

Look @ Me

Total Tayangan Halaman

Radio

Chat