1. TEORI MOTIVASI HIERARKI KEBUTUHAN (ABRAHAM MASLOW)
Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H. Maslow pada intinya berkisar pada pendapat mengenai konsep motivasi manusia dan mempunyai lima hierarki kebutuhan, yaitu:
· Kebutuhan yang bersifat fisiologis (lahiriyah) Ã Manifestasi kebutuhan ini terlihat dalam tiga hal pokok, sandang, pangan dan papan. Bagi karyawan, kebutuhan akan gaji, uang lembur, perangsang, hadiah-hadiah dan fasilitas lainnya seperti rumah, kendaraan dll. Menjadi motif dasar dari seseorang mau bekerja, menjadi efektif dan dapat memberikan produktivitas yang tinggi bagi organisasi.
· Kebutuhan keamanan dan ke-selamatan kerja (Safety Needs) Ã Kebutuhan ini mengarah kepada rasa keamanan, ketentraman dan jaminan seseorang dalam kedudukannya, jabatan-nya, wewenangnya dan tanggung jawabnya sebagai karyawan. Dia dapat bekerja dengan antusias dan penuh produktivitas bila dirasakan adanya jaminan formal atas kedudukan dan wewenangnya.
· Kebutuhan sosial (Social Needs) Ã Kebutuhan akan kasih sayang dan bersahabat (kerjasama) dalam kelompok kerja atau antar kelompok. Kebutuhan akan diikutsertakan, mening-katkan relasi dengan pihak-pihak yang diperlukan dan tumbuhnya rasa kebersamaan termasuk adanya sense of belonging dalam organisasi.
· Kebutuhan Penghargaan à meliputi factor-faktor penghargaan interna seperti hormat diri,otonomi, dan pencapaian; dan factor-faktor penghargaan eksternal seperti status, pengakuan dan perhatian.
· Kebutuhan Akutualisasi Diri (Self Actualization) Ã Setiap orang ingin mengembangkan kapasitas kerjanya dengan baik. Hal ini merupakan kebutuhan untuk mewujudkan segala kemampuan (kebolehannya) dan seringkali nampak pada hal-hal yang sesuai untuk mencapai citra dan cita diri seseorang. Dalam motivasi kerja pada tingkat ini diperlukan kemampuan manajemen untuk dapat mensinkronisasikan antara cita diri dan cita organisasi untuk dapat melahirkan hasil produktivitas organisasi yang lebih tinggi.
Teori Maslow tentang motivasi secara mutlak menunjukkan perwujudan diri sebagai pemenuhan (pemuasan) kebutuhan yang bercirikan pertumbuhan dan pengembangan individu. Perilaku yang ditimbulkannya dapat dimotivasikan oleh manajer dan diarahkan sebagai subjek-subjek yang berperan. Dorongan yang dirangsang ataupun tidak, harus tumbuh sebagai subjek yang memenuhi kebutuhannya masing-masing yang harus dicapainya dan sekaligus selaku subjek yang mencapai hasil untuk sasaran-sasaran organisasi.
Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua (keamanan) kadang-kadang diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat klasifikasi kebutuhan manusia itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis dan intensitas kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia merupakan individu yang unik. Juga jelas bahwa kebutuhan manusia itu tidak hanya bersifat materi, akan tetapi bersifat psikologikal, mental, intelektual dan bahkan juga spiritual.
Menarik pula untuk dicatat bahwa dengan makin banyaknya organisasi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dan makin mendalamnya pemahaman tentang unsur manusia dalam kehidupan organisasional, teori “klasik” Maslow semakin dipergunakan, bahkan dikatakan mengalami “koreksi”. Penyempurnaan atau “koreksi” tersebut terutama diarahkan pada konsep “hierarki kebutuhan “ yang dikemukakan oleh Maslow. Istilah “hierarki” dapat diartikan sebagai tingkatan. Atau secara analogi berarti anak tangga.
Logikanya ialah bahwa menaiki suatu tangga berarti dimulai dengan anak tangga yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika konsep tersebut diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak akan berusaha memuaskan kebutuhan tingkat kedua,- dalam hal ini keamanan- sebelum kebutuhan tingkat pertama yaitu sandang, pangan, dan papan terpenuhi; yang ketiga tidak akan diusahakan pemuasan sebelum seseorang merasa aman, demikian pula seterusnya.
Kendati pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini tampak lebih bersifat teoritis, namun telah memberikan fundasi dan mengilhami bagi pengembangan teori-teori motivasi yang berorientasi pada kebutuhan berikutnya yang lebih bersifat aplikatif.
Maslow menggambarkan manusia yang sudah mengaktualisasikan diri sebagai orang yang sudah terpenuhi semua kebutuhannya dan melakukan apapun yang bisa mereka lakukan
2. ERG THEORY (CLAYTON ALDERFER)
Clayton Alderfer mengolah hierarki kebutuhan Maslow agar semakin dekat dengan penelitian empiris, hierarki kebutuhannya disebut dengan teori ERG (ERG Theory). Alderfer berpendapat bahwa terdapat 3 kelompok kebutuhan inti:
1. Kehidupan, sama dengan kebutuhan fisiologis dan keamanan milik Maslow
2. Hubungan, sama dengan kebutuhan social dan status milik Maslow
3. Pertumbuhan, sama dengan kebutuhan penghargaan dan aktualisasi diri milik Maslow
Dalam teori ERG tidak berasumsi bahwa kebutuhan tingkat rendah harus di penuhi dulu sebagai syarat untuk menaiki tingkat selanjutnya, itulah perbedaan asumsi yang dapat dilihat bila dibandingkan dengan teori Maslow.
3. DOUGLAS McGREGOR MENGEMUKAKAN 2 PANDANGAN MENGENAI MANUSIA:
1) Pandangan pertama pada dasarnya negatif, disebut Teori X
Merupakan teori yang menyatakan anggapan bahwa karyawan tidak suka bekerja keras, malas, tidak menyukai tanggung jawab dan harus dipaksa untuk menghasilkan kinerja.
2) Pandangan kedua pada dasarnya positif, disebut Teori Y
Merupakan teori yang menyatakan anggapan sebaliknya dari Teori X bahwa karyawan suka bekerja, kreatif, mancari tanggung jawab, dan dapat berlatih mengendalikan diri.
Menurut Teori X, 4 asumsi yang dimiliki oleh manajer:
1. Karyawan pada dasarnya tidak menyukai pekerjaan, sebisa mungkin berusaha untuk menghindarinya.
2. Karena tidak menyukai pekerjaan, mereka harus dipaksa, dikendalikan atau diancam dengan hukuman untuk mencapai tujuan-tujuan.
3. Karyawan akan menghindari tanggung jawab dan mencari perintah formal bila mungkin.
4. Sebagian karyawan menempatkan keamanan di atas semua faktor lain terkait dengan pekerjaan dan menunjukkan sedikit ambisi.
Bertentangan dengan hal diatas, McGregor menyebutkan 4 asumsi positif yang disebutkan pada Teori Y:
1. Karyawan menganggap kerja sebagai hal yang menyenangkan, seperti halnya istirahat atau bermain.
2. Karyawan akan berlatih mengendalikan diri dan emosi untuk mencapai berbagai tujuan.
3. Karyawan bersedia belajar untuk menerima, bahkan mencari, tanggung jawab.
4. Karyawan mampu membuat berbagai keputusan inovatif yang diedarkan ke seluruh populasi, dan bukan hanya mereka yang menduduki posisi manajemen.
4. TEORI 2 FAKTOR
Teori ini juga disebut Teori motivasi Higiene (motivation-hygiene-theory). Pencetusnya Frederick Herzberg mengemukakan adanya hubungan faktor-faktor intrinsik dengan kepuasan kerja, sementara ketidakpuasan kerja dikaitkan dengan faktor-faktor ekstrinsik.
Kondisi-kondisi yang melingkupi pekerjaan seperti kualitas pengawasan, imbalan kerja, kebijaksanaan perusahaan, kondisi fisik pekerjaan, hubungan dengan faktor individu lain, dan kemanan pekerjaan digolongkan Herzberg sebagai faktor-faktor Higiene (hygiene factors).
Berikut merupakan perbandingan Faktor Kepuasan dan Ketidakpuasan:
Ø Faktor yang menimbulkan ketidakpuasan:
a. Kebijaksanaan dan administrasi perusahaan.
b. Pengawasan
c. Hubungan dengan pengawas
d. Kondisi-kondisi kerja
e. Bayaran (salary)
f. Hubungan dengan rekan kerja
g. Kehidupan pribadi
h. Hubungan dengan bawahan
i. Status
j. Keamanan
Ø Faktor yang menimbulkan kepuasan:
a. Pencapaian
b. Pengakuan
c. Kerja itu sendiri
d. Tanggung jawab
e. Kemajuan
f. Pertumbuhan
5. TEORI KEBUTUHAN McCLELLAND:
Teori ini berfokus pada tiga kebutuhan:
· Kebutuhan pencapaian atau prestasi
Dorongan untuk lebih unggul, berprestasi, dan berusaha keras untuk sukses. Peraih prestasi tinggi memiliki hasrat untuk menyelesaikan hal-hal dengan lebih baik. Mereka tidak menyukai kemenangan oleh kebetulan, melainkan tantangan menyelesaikan suatu masalah dan menerima tanggung jawab pribadi untuk sukses ataupun kegagalan.
· Kebutuhan kekuatan atau kekuasaan
Kebutuhan untuk membuat orang lain berperilaku dalam suatu cara yang mana tidak akan mereka lakukan jika tidak terpaksa. Individu dengan nPow (need for power) ini menikmati untuk dibebani, bergulat untuk dapat mempengaruhi orang lain, suka ditempatkan dalam situasi kompetitif, berorientasi status, dan cenderung lebih peduli akan prestise dan memperoleh pengaruh terhadap orang lain daripada kinerja yang efektif.
· Kebutuhan hubungan atau afiliasi
Hasrat untuk hubungan antarpribadi yang ramah dan akrab, untuk disukai dan diterima baik oleh orang lain. Individu dengan motif afiliasi yang tinggi berjuang keras untuk persahabatan, menyukai situasi yang kooperatif, dan ssangat menginginkan hubungan yang melibatkan derajat pemahaman timbale balik yang tinggi.
Untuk mengetahui kebutuhan mana yang dominan pada diri individu, beberapa metode seperti kuisioner, tes proyektif dengan gambar dapat efektif. Perlu diperhatikan bahwa kebutuhan untuk berprestasi tinggi tidak selalu berarti dapat menjadi manager yang baik, terutama dalam organisasi-organisasi besar. Sementara kebutuhan akan afiliasi erat dikaitkan dengan sukses manajerial. Manager terbaik tinggi dalam kenutuhan kekuasaan dan rendah dalam kebutuhan afiliasinya.
6. TEORI EVALUASI KOGNITIF
Menyatakan bahwa pemberian penghargaan ekstrinsik untuk perilaku yang sebelumnya memuaskan secara intrinsic cenderung mengurangi tingkat motivasi secara keseluruhan. dikemukakan bahwa diperkenalkannya ganjaran-ganjaran ekstrinsik, seperti upah, untuk upaya kerja yang sebelumnya secara intrinsik telah memberi ganjaran karena adanya kesenangan yang dikaitkan dengan isi kerja itu sendiri, akan cenderung mengurangi tingkat motivasi keseluruhan. Dengan kata lain, bila ganjaran ekstrinsik diberikan kepada seseorang untuk menjalankan suatu tugas yang menarik, pengganjaran itu menyebabkan minat intrinsik terhadap tugas itu sendiri merosot.
Namun teori ini telah dipertanyakan diantara para spesialis kompensasi selama bertahun-tahun bahwa jika upah atau ganjatan ekstrinsik lain harus merupakan motivator yang efektif, ganjaran itu seharusnya dibuat bergantung pada kinerja seorang individu. Selain itu, teori ini juga diserang dalam hal metodologi yang digunakan didalamnya dan dalam penafsiran dari penemuan-penemuan itu. Teori ini mungkin relevan dengan perangkat pekerjaan organisasi yang berada diantaranya, yaitu pekerjaan yang tidak luar biasa membosankan dan tidak luar biasa menarik.
7. TEORI PENENTUAN TUJUAN
Menyatakan bahwa tujuan-tujuan yang spesifik dan sulit, denga umpan balik, menghasilkan kinerja yang lebih tinggi. Ada beberapa factor yang mempengaruhi hubungan tujuan-kinerja, yaitu umpan balik, komitmen tujuan, kefektifan diri yang memadai, dan budaya nasional.
8. TEORI HARAPAN
Dikembangkan oleh Victor Vroom, yang meskipun banyak dikritik, banyak bukti riset yang mendukungnya. Teori ini berargumen bahwa seorang karyawan dimotivasi untuk menjalankan tingkat upaya yang tinggi bila ia meyakini upaya akan menghantar ke suatu penilaian kinerja yang baik; penilaian yang baik akan mendorong ganjaran-ganjaran organisasional seperti bonus, kenaikan gaji, atau promosi; dan ganjaran itu akan memuaskan tujuan pribadi individu.
Oleh karenanya, teori ini memfokuskan pada tiga hubungan :
- Hubungan upaya-kinerja : probabilitas yang dipersepsikan oleh individu yang mengeluarkan sejumlah upaya tertentu itu akan mendorong kinerja.
- Hubungan kinerja-ganjaran : derajat sejauh mana individu itu meyakini bahwa berkinerja pada suatu tingkat tertentu akan mendorong tercapainya suatu keluaran yang diinginkan.
- Hubungan ganjaran-tujuan pribadi : derajat sejauh mana ganjaran organisasional memenuhi tujuan atau kebutuhan pribadi individu dan potensi daya tarik ganjaran tersebut bagi individu.
Teori harapan ini sangat membantu menjelaskan mengapa banyak sekali pekerja tidak termotivasi pada pekerjaan mereka dan semata-mata melakukan yang minimum untuk menyelamatkan diri. Namun, teori ini cenderung bersifat idealistis karena sedikit individu yang mempersepsikan suatu korelasi yang tinggi antara kinerja dan ganjaran dalam pekerjaan mereka. Jika organisasi benar-benasr mengganjar individu untuk kinerja, bukannya menurut kriteria seperti senioritas, upaya, tingkat ketrampilan, dan sulitnya pekerjaan, maka validitas teori ini mungkin lebih besar.
9. TEORI PENGUATAN
Teori yang bertentangan secara filosofis dengan teori penetuan tujuan, teori sebelumnya adalah sebuah pendekatan kognitif, dimana tujuan-tujuan seorang individu mengarahkan tindakannya. Dalam teori penguatan, mempunyai pendekatan perilaku, yang menunjukkan bahwa penguatan mempengaruhi perilaku. Perilaku disebabkan oleh lingkungan
Teori penguatan mengabaikan keadaan batin individu dan hanya terpusat pada apa yang terjadi pada seseorang ketika ia melakukan tindakan. Teori ini bukanlah teori motivasi karena tidak berhubungan dengan apa yang melatar belakangi perilaku. Tetapi, hal ini memberikan satu cara analisis mengenai apa yang mengendalikan perilaku, dank karena alasan inilah hal ini dipertimbangkan dalam diskusi-diskusi motivasi.
10. TEORI KEADILAN
Teori keadilan menyatakan bahwa individu membandingkan masukan-masukan dan hasil pekerjaan mereka dengan masukan-masukan dan hasil pekerjaan orang lain, dan kemudian merespons untuk menghilangkan ketidakadilan
4 perbandingan rujukan yang bisa digunakan oleh seorang karyawan :
1. Diri –di dalam : membandingkan pengalaman seorang karyawan dengan posisi yang berbeda didalam organisasi karyawan tersebut saat ini
2. Diri-di luar : membandingkan pengalaman seorang karyawan dengan posisi yang berbeda diluar organisasi karyawan tersebut saat ini
3. Individu lain-didalam : Individu atau kelompok individu lain di dalam organisasi karyawan tersebut
4. Individu lain – diluar : Individu atau kelompok individu lain di luar organisasi karyawan tersebut.
11. MANAJEMEN PARTISIPATIF
Merupakan salah satu dari 3 bentuk utama keterlibatan karyawan, yang menyatakan suatu proses di mana para bawahan berbagi suatu tingkat kekuatan pembuatan keputusan yang signifikan dengan atasan-atasan langsung mereka.
Program ini dapat berfungsi dengan baik, bila persoalan-persoalan di mana para karyawan terlibat harus relevan dengan minat-minat mereka sehingga mereka akan termotivasi, dan karyawan harus memiliki kemampuan juga untuk berkontribusi. Penggunaan partisipasi bukanlah cara pasti untuk meningkatkan kinerja karyawan.